BUDAYA
VISUAL DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
Kapan muncul konsep budaya visual
dan siapa tokohnya, dan apa kira-kira konsep pemikirannya?
Perkembangan dibidang lintas ilmu
budaya mendefinisikan semua produk budaya tangible sebagai
budaya visual (visual culture). Dalam kamus Ecyclopedia Encarta Budaya
visual didefinisikan sebagai bidang studi yang biasanya meliputi kombinasi
studi budaya, sejarah seni, dan ilmu antropologi, dengan memusatkan pada aspek
budaya yang berdasar gambaran visual (imaji visual).
Beberapa pemikir pemula dari budaya visual dapat dikemukakan
antara lain Yohanes
Berger dengan bukunya yang terkenal “Ways of Seeing”
(1972), Laura
Mulvey dengan “Visual Pleasure and Narrative Cinema”, (1975), Kemudian diikuti oleh Jacques Lacan's dengan
studinya tentang teori alam bawahsadar sosial (social unconciousness/ archetipe).
Karya yang lebih luas membahas
tentang budaya visual terdapat pada kumpulan karangan W. J. T. Mitchell,
terutama sekali di dalam cabang ilmu ikonologi dan teori gambar, kemudian
sejarahwan seni dan ahli teori budaya Griselda Pollock. Lain-lain pemikir
budaya visual yang penting adalah Stuart Hall, Jean-François Lyotard, Rosalind
Krauss, Bracha Ettinger dan Slavoj Zizek.
Studi awal budaya visual
memperlihatkan bahwa bidang ini berangkat dari analisis pengaruh imaji-imaji
visual terhadap sosial. Misalnya analisis tentang pengaruh TV terhadap
masyarakat. Pemikir selanjutnya mengembangkan analisisnya ke berbagai disiplin
seperti teori psikologi analisis, strukturalisme dekonstruksi, gaze,
gender dan sebagainya, yang melihat bagaimana fenomena imaji visual
dalam sosial budaya dan pengaruhnya dalam kebudayaan manusia secara umum.
Bidang lain seperti seni rupa dan arsitektur kemudian mengikuti pola pemikiran
dikembangkan para ahli budaya visual untuk menganalisisnya dari payung budaya
visual. Hal ini mengindikasikan bahwa produk kreatif benda budaya
tidak lagi fragmentaris, terkotak pada bidangnya masing-masing, tetapi dilihat
dalam kerangka berpikir yang berbeda tentang kebudayaan visual.
Walaupun sampai sekarang para ahli
masih berdebat bahwa budaya visual itu hanya terbatas sebagai imaji-imaji
visual yang dipakai sebagai alat analisis untuk produk media yang bersifat
massal seperti film, kartun, animasi, video dan web design dan
sebagainya. Banyak ahli yang menganggap bahwa pembatasan seperti itu sia-sia
karena imaji tidak hanya terbentuk oleh mass media, imaji visual itu ada selagi
manusia dapat melihat apapun.
Studi psikologi menjelaskan bahwa
imaji-imaji atau stimuli dan respons visual dapat berkenaan dengan benda-benda,
objek-objek visual lainnya seperti karya seni, arsitektur dan desain.
Objek-objek visual itu terekam dalam ingatan manusia dalam bentuk memori-imaji.
Oleh karena itu pernyataan ahli
budaya visual seperti Morgan (1998)
tentang imaji–imaji visual cukup menarik untuk dikaji. Dia berpendapat bahwa
yang penting dalam visual culture bukan ada atau tidak ada
objek visual itu, tetapi imaji visual sebagai sebuah struktur yang
menyebar secara sosial. Dia memberikan contoh tentang imaji Leonardo da
Vincy (tokoh seniman), imaji tokoh ini telah menyebar ke seluruh dunia tanpa
dapat dihitung lagi siapa yang memiliki imaji tentang dia.
Leonardo da Vincy bukanlah lembaran
kertas foto atau lukisan, dia adalah orang atau dia adalah seniman terkenal
sepanjang masa. Tetapi imaji visual tentang dia menyebar melalui gambar atau
lukisan. Dahulu lukisan itu hanya satu atau beberapa buah (bukan massal),
tetapi melalui media terbatas itu dan juga cara penyebarannya menjadi tak
terbatas, dia menyebar melalui informasi buku, internet dan sebagainya sehingga
orang memiliki imaji visual tentang dia.
Kajian budaya visual di Indonesia
memang masih prematur, sebagai contoh, di Indonesia karangan terbaru,
tentang Budaya Visual Indonesia menguraikan produk seni rupa,
produk desain termasuk arsitektur sebagai kategori budaya visual. Karangan ini
telah membuka mata tentang produk-produk Indonesia secara visual.
Tetapi timbul pertanyaan, apakah imaji-imaji visual produk itu bukan hanya yang
terdapat di pulau Jawa (Jakarta, Bandung Yogya, dsb)?
Apakah produk-produk itu dapat membentuk sebuah garis merah
hubungannya dengan makna-maknanya imaji visual multi kultural Indonesia?
Memang tidak mudah untuk menggeneralisir sebuah fenomena produk kreatif menjadi
bermakna budaya visual Indonesia (nasional), atau bermakna budaya
visual Minangkabau (regional).
Dalam
sejarah kebudayaan Dunia, peran budaya visual merupakan bagian dari pembentuk
peradaban. Budaya visual pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah
kebudayaan bangsa dan peradaban modern saat ini. Budaya visual dapat dilihat
dengan semakin meluasnya penggunaan teknologi
komunikasi yang menembus batas antar Negara dan memicu berbagai
persaingan budaya melalui berbagai macam visual tayangan yang banyak jenisnya.
Untuk itulah diperlukan pemahaman akan makna mengapa hal
tersebut bisa terjadi. Hal tersebut dapat dihindari dengan melakukan berbagai
pengimbangan dalam bentuk budaya.
A.
Fenomena Budaya Visual di Indonesia
Budaya
visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep/nilai dan kebudayaan materi/benda
yang dapat segera ditangkap oleh indera visual/mata, dan dapat dipahami sebagai
model pikiran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Budaya visual tidak
hanya terdiri dari sebuah sosok kebudayaan yang dinilai kurang bermartabat,
hanya karena bentuk yang teraga sebagai implementasi ‘terluar’ kerap dinilai
sebagai wajah imitasi. Karena pilar tersebutlah merupakan kreativitas nilai,
inovasi dalam kebudayaan itu sendiri sehinggu membentuk suata peradaban.
Dalam
peradaban fisik, gaya visual selalu menjadi fenomena yang menarik untuk
diamati, hal itu disebabkan oleh factor dinamika dan ekspresi terluar sebuah
objek yang mudah dicerna indera mata. Salah satu bentuk gaya visual yang
dianggap mendunia adalah modernisme dan modernisme selalu tak bisa dipisahkan
dari pengaruh budaya barat.
B.
Desain sebagai Wujud Budaya Visual
Sosok atau wujud desain dianggap sebagai
representasi kompleks dari sub-sub social budaya yang mengiringi proses
penciptaannya, termasuk di dalamnya antara lain pola piker, ideologi politik,
kebijakan pemerintah, system pendidikan visual, wacana estetik yang berkembang,
hingga orientasi masyarakat terhadap pandangan dunia.
Hal yang terpenting pada Wujud Budaya
Visual adalah:
1. Mendudukan
pergeseran gaya visual dan nilai estetik dalam karya desain sebagai bagian dari
proses transformasi budaya nasional secara keseluruhan
2. Menempatkan
desain dalam wacana budaya visual Indonesia secara proporsional
3. Mengamati
peran gaya visual pada karya desain yang telah memperkaya peradaban bangsa
diamati sebagai fenomena pemberdayaan masyarakat Indonesia yang bermakna.
Dan
dalam konteks budaya visual, istilah desain dapat dipahami sebagai suatu
aktivitas dan karya budaya yang teraga dan memiliki makna bagi perkembangan
peradaban masyarakatnya. Dengan demikian, desain melingkupi semua hal yang
berkaitan dengan budaya benda, nilai-nilai dan substansi filosofis yang melatar
belakanginya.
C.
Permasalahan yang Dihadapi Indonesia
Permasalahan nasional ynag dihadapi
bangsa Indonesia ke depan dalam spectrum kebudayaan yang luas sesungguhnya
ditentukan oleh mentalitas dan sikap manusia bangsa Indonesia sendiri, beberapa
di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Hilangnya
Nasionalisme
Berbagai pengaruh dari budaya luar
membuat masyarakat Indonesia lebih tertarik pada bangsa luar dalam hal budaya
maupun tatanan kehidupannya. Hal tersebut dapat mengikis sendi-sendi
Nasionalisme masyarakat dan mengancam hilangnya rasa Nasionalisme itu sendiri.
2. Hilangnya
Jatidiri Bangsa
Dengan berbagai kemudahan teknologi dan
informasi masyarakat menjadi lupa akan menjaga jatidiri bangsa mereka sendiri. Perubahan
ketertarikan itu dapat mengakibatkan hilangnya jatidiri bangsa.
3. Hegemoni
Budaya Kuat
Kekuatan yang disebut sebagai hegemoni memiliki
pengaruh yang besar dan kuat. Dalam kebudayaan, hegemoni tersebut dapat merubah
tatanan budaya setempat dan mempengaruhi dan bisa sampai mengubah kebudayaan
yang dipengaruhi oleh hegemoni budaya tersebut.
D.
Redenifisi
Budaya Visual
·
Apakah seni itu bukan hanya ekspresi
pribadi dibandingkan dengan budaya visual yang merupakan imaji dan ekspresi
sosial?
·
Bukanlah budaya visual itu imaji
produk masal seperti film atau komik, bagaimanakah seni dapat dianggap
sebagai bagian budaya visual?
·
Apakah karya seni dan desain seperti
arsitektur yang sifatnya tidak massal dapat dianggap sebagai bagian budaya visual?
Tokoh pemikir budaya visual seperti
Morgan (1998) atau Burke (2001)
mungkin lebih jernih dalam menjelaskan fenomena budaya visual sebagai produk
refleksi sebuah budaya, dimana di dalamnya terkandung maksud untuk menjelaskan
fenomena visual sebagai bagian dari cara berpikir dan berimajinasi
secara sosial.
Pemikiran mereka ini mungkin relevan
sewaktu kita membahas bagaimana budaya visual tradisi Minangkabau sebagai
cerminan dari kepercayaan, mitologi, pengetahuan (intangible cultural
heritage) yang dapat dikonstruksikan sebagai imaji–imaji visual sosial
tertentu.
Menurut Morgan (1998) jika dalam
kajian sejarah yang mapan, pendekatan sejarah seni telah berkonsentrasi untuk
menentukan mengapa imaji visual itu timbul. Kemudian
ahli sejarah seni juga mencari dan menyelidiki gaya seni, ikonografi
(studi tentang ikon), konteks budayaannya, patron-patron ikatan sosial, maksud
artistik, dan atensi artistik.
Tetapi pendekatan teori budaya
visual menurut Morgan, mengambil payung yang lain lagi, yaitu lebih
mempedulikan tujuan (purpose) sosial dan efek
imaji yang berlangsung dalam kehidupan dan aturan sosial
(sosial order), seperti dalam hal memodifikasinya, menentangnya, atau
mentransformasikannya.
Menurut Morgan, dasar pertanyaan
untuk kelompok kulturalis visual adalah: bagaimana cara imaji mengambil bagian
konstruksi kenyataan sosial? Oleh karena itu sarjana budaya visual manapun akan
tertarik dan terdorong keberbagai media-media visual seperti halnya juga
berbagai metodologi berusaha untuk menginterpretasikan bentuk yang berbeda
tentang bukti visual.
Morgan (1998) menjelaskan bahwa
seorang sarjana visual tidak menyelidiki hanya tentang imaji itu sendiri,
tetapi juga perannya di dalam narasi, persepsi dan di dalam
kategori intelektual dan ilmiah, dan dalam semua cara upacara
praktik agama, pemberian hadiah, perdagangan, memorialisasi, migrasi, dan
penyajiannya dimana pemahaman tentang imaji sebagai bagian dari kerangka
kenyataan sosial. Kenyataan itu dapat direkam oleh seniman fotografi, seni
lukis atau wartawan dan menyebar sebagai sebuah kesadaran publik.
Lebih dari itu, studi tentang budaya
visual akan melihat imaji itu sebagai bagian dari sebuah sistem
produksi budaya dan sistem resepsi (penerimaan budaya), di
mana niat asalnya bukanlah untuk memudarkan imaji itu untuk disimpan oleh orang
yang bukan membuatnya, misalnya dalam koleksi atau museum.
Imaji diproduksi dan pada gilirannya membantu membangun kenyataan
sosial yang membentuk hidup manusia. Studi tentang penelitian budaya
visual tidak hanya imaji visual tetapi praktik tentang cara
imaji visual itu dipakai. Ini berarti bahwa masyarakat, budayawan,
intelektual, dan praktik artistik akan membantu untuk membuat imaji
visual itu menjadi bermakna. Karena itu praktik sejumlah besar sarjana tentang
studi budaya visual hari ini bukanlah sebuah disiplin yang otonom atau terfragmentasi,
tetapi sebuah interaksi antara dua atau tiga bidang atau disiplin ilmu yang
ada.
Sebagai ringkasan, Morgan (1998)
menjelaskan beberapa maksud budaya visual:
a) Budaya visual
adalah imaji itu sendiri, budaya visual timbul dari tindakan dan
perhatian atas melihat sesuatu, atensi intelektual, emosional,
dan sensibilitas persepsi yang dilaksanakan untuk membangun,
memelihara, atau mengubah bentuk dunia itu di mana orang-orang hidup. Studi
tentang budaya visual adalah analisis dan penafsiran imaji dalam konteks
agen-agen, praktik, konsepsi, dan institusi yang memelihara imaji itu dapat
bekerja. Maka, studi budaya visual akan ditandai oleh beberapa atensi (perhatian).
Pertama, sarjana budaya visual akan menguji apapun dari semua
gambaran-gambaran baik yang tinggi atau rendahnya gambaran itu, apakah
itu seni atau tidak seni. Mereka tidak akan membatasi diri mereka ke objek
estetik atau artistik atau estetik tertentu saja. Tentu saja, segala hal yang
bersifat metafora mungkin saja ditemukan untuk memberikan bukti atas konstruksi
kenyataan visual seperti itu, sarjana tidak akan membatasi diri mereka pada
ilmu seni, tetapi tidak berkehendak untuk mengabaikannya.
b) Tujuan budaya visual bukanlah untuk memuji, menghargai, atau mendokumentasikannya.
Budaya visual meneliti praktik visual dan bukan untuk mengurangi imaji diri
mereka, tetapi menanyakan imaji apa yang berlangsung ketika mereka diterapkan.
Sebagai contoh, tidak seorangpun yang dapat menjawab berapa jumlah orang yang
telah dipengaruhi oleh imaji tentang Michelangelo atau Leonardo da Vinci.
c) Budaya visual dapat
dipelajari dengan baik tetapi tidak harus memusatkan kepada interpretasi
pada kehidupan manusia dengan menguji imaji, praktik, teknologi
visual, rasa, atau gaya artistik sebagai tuntutan konstitusi hubungan
sosial. Tugasnya hanya adalah untuk memahami bagaimana imaji artefak dan
artefak berperan untuk menstukturkan sebuah masyarakat atau dunia budayanya.
d) Sarjana bisa menerima
penghargaan ketika mereka meneliti sebuah visi, sebuah struktur persepsi proses
fisiologis, yang memberi tahu tentang sistem penyajian visual. Visi yang
dimaksud harusnya ada dalam sebuah operasi sosial dan struktur biologis yang
dibangun, dan tergantung pada perancangan tubuhnya. Yaitu bagaimana melibatkan
alat penafsir yang dikembangkan oleh sebuah budaya, agar melihat dan
memahaminya dengan mudah.
e) Bukti visual dan
harus ada untuk menentukan apa yang mereka dapat ceritakan kepada kita, melihat
tindakannya seperti halnya hubungan antara cara berpikir dan penyajian
visualnya, perasaannya, aktingnya, dan keyakinannya.
Kesimpulan
Budaya
visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep/nilai dan kebudayaan materi/benda
yang dapat segera ditangkap oleh indera visual/mata, dan dapat dipahami sebagai
model pikiran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kebudayaan visual
meliputi berbagai hal mulai dari fenomena budaya visual, desain wujud dari
budaya visual, masalah yang timbul serta redefinisi dari budaya visual
tersebut. Kebudayaan akan selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan manusia
itu sendiri serta akan menjadi bukti bahwa peradaban manusia akan terus maju
mengikuti zaman yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Sachari,Agus., 2007, Budaya Visual
Indonesia [online], (http://books.google.co.id/books?id=PoDl8Fn6GNcC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false,
diakses pada 9 April 2015)
·
Couto,Nasbahry., 2011, Memahami Seni
sebagai Refleksi Budaya Visual [online], (http://visualheritageblog.blogspot.com/2011/09/memahami-seni-sebagai-refleksi-budaya.html,
diakses pada 9 April 2015)
Segera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan capsa Susun Nomor Satu di Indonesia AGENPOKER(COM)
BalasHapusJadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !