Kamis, 09 April 2015

BUDAYA VISUAL DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA



BUDAYA VISUAL DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA
Kapan muncul konsep budaya visual dan siapa tokohnya, dan apa kira-kira konsep pemikirannya?
Perkembangan dibidang lintas ilmu budaya mendefinisikan semua produk budaya tangible sebagai budaya visual (visual culture). Dalam kamus Ecyclopedia Encarta Budaya visual didefinisikan sebagai bidang studi yang biasanya meliputi kombinasi studi budaya, sejarah seni, dan ilmu antropologi, dengan memusatkan pada aspek budaya yang berdasar gambaran visual (imaji visual).
Beberapa pemikir pemula dari budaya visual dapat dikemukakan antara lain Yohanes Berger dengan bukunya yang terkenal “Ways of Seeing” (1972), Laura Mulvey dengan “Visual Pleasure and Narrative Cinema, (1975), Kemudian diikuti oleh Jacques Lacan's dengan studinya tentang teori alam bawahsadar sosial (social unconciousnessarchetipe).
Karya yang lebih luas membahas tentang budaya visual terdapat pada kumpulan karangan W. J. T. Mitchell, terutama sekali di dalam cabang ilmu ikonologi dan teori gambar, kemudian sejarahwan seni dan ahli teori budaya Griselda Pollock. Lain-lain pemikir budaya visual yang penting adalah Stuart Hall, Jean-François Lyotard, Rosalind Krauss, Bracha Ettinger dan Slavoj Zizek.
Studi awal budaya visual memperlihatkan bahwa bidang ini berangkat dari analisis pengaruh imaji-imaji visual terhadap sosial. Misalnya analisis tentang pengaruh TV terhadap masyarakat. Pemikir selanjutnya mengembangkan analisisnya ke berbagai disiplin seperti teori psikologi analisis, strukturalisme dekonstruksi, gaze, gender dan sebagainya, yang melihat bagaimana fenomena imaji visual dalam sosial budaya dan pengaruhnya dalam kebudayaan manusia secara umum. Bidang lain seperti seni rupa dan arsitektur kemudian mengikuti pola pemikiran dikembangkan para ahli budaya visual untuk menganalisisnya dari payung budaya visualHal ini mengindikasikan bahwa produk kreatif benda budaya tidak lagi fragmentaris, terkotak pada bidangnya masing-masing, tetapi dilihat dalam kerangka berpikir yang berbeda tentang kebudayaan visual.
Walaupun sampai sekarang para ahli masih berdebat bahwa budaya visual itu hanya terbatas sebagai imaji-imaji visual yang dipakai sebagai alat analisis untuk produk media yang bersifat massal seperti film, kartun, animasi, video dan web design  dan sebagainya. Banyak ahli yang menganggap bahwa pembatasan seperti itu sia-sia karena imaji tidak hanya terbentuk oleh mass media, imaji visual itu ada selagi manusia dapat melihat apapun.
Studi psikologi menjelaskan bahwa imaji-imaji atau stimuli dan respons visual dapat berkenaan dengan benda-benda, objek-objek visual lainnya seperti karya seni, arsitektur dan desain. Objek-objek visual itu terekam dalam ingatan manusia dalam bentuk memori-imaji.
Oleh karena itu pernyataan ahli budaya visual seperti Morgan (1998) tentang imaji–imaji visual cukup menarik untuk dikaji. Dia berpendapat bahwa yang penting dalam visual culture bukan ada atau tidak ada objek visual itu, tetapi imaji visual sebagai sebuah struktur yang menyebar secara sosial. Dia memberikan contoh tentang imaji Leonardo da Vincy (tokoh seniman), imaji tokoh ini telah menyebar ke seluruh dunia tanpa dapat dihitung lagi siapa yang memiliki imaji tentang dia.
Leonardo da Vincy bukanlah lembaran kertas foto atau lukisan, dia adalah orang atau dia adalah seniman terkenal sepanjang masa. Tetapi imaji visual tentang dia menyebar melalui gambar atau lukisan. Dahulu lukisan itu hanya satu atau beberapa buah (bukan massal), tetapi melalui media terbatas itu dan juga cara penyebarannya menjadi tak terbatas, dia menyebar melalui informasi buku, internet dan sebagainya sehingga orang memiliki imaji visual tentang dia.
Kajian budaya visual di Indonesia memang masih prematur, sebagai contoh, di Indonesia karangan terbaru, tentang Budaya Visual Indonesia menguraikan produk seni rupa, produk desain termasuk arsitektur sebagai kategori budaya visual. Karangan ini telah membuka mata tentang produk-produk Indonesia secara visual. Tetapi timbul pertanyaan, apakah imaji-imaji visual produk itu bukan hanya yang terdapat di pulau Jawa (Jakarta, Bandung Yogya, dsb)?
Apakah produk-produk itu dapat membentuk sebuah garis merah hubungannya dengan makna-maknanya imaji visual multi kultural Indonesia? Memang tidak mudah untuk menggeneralisir sebuah fenomena produk kreatif menjadi bermakna budaya visual Indonesia (nasional), atau bermakna budaya visual Minangkabau (regional).

Dalam sejarah kebudayaan Dunia, peran budaya visual merupakan bagian dari pembentuk peradaban. Budaya visual pun menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah kebudayaan bangsa dan peradaban modern saat ini. Budaya visual dapat dilihat dengan semakin meluasnya penggunaan teknologi  komunikasi yang menembus batas antar Negara dan memicu berbagai persaingan budaya melalui berbagai macam visual tayangan yang banyak jenisnya.
            Untuk itulah diperlukan pemahaman akan makna mengapa hal tersebut bisa terjadi. Hal tersebut dapat dihindari dengan melakukan berbagai pengimbangan dalam bentuk budaya.
A.    Fenomena Budaya Visual di Indonesia
Budaya visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep/nilai dan kebudayaan materi/benda yang dapat segera ditangkap oleh indera visual/mata, dan dapat dipahami sebagai model pikiran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Budaya visual tidak hanya terdiri dari sebuah sosok kebudayaan yang dinilai kurang bermartabat, hanya karena bentuk yang teraga sebagai implementasi ‘terluar’ kerap dinilai sebagai wajah imitasi. Karena pilar tersebutlah merupakan kreativitas nilai, inovasi dalam kebudayaan itu sendiri sehinggu membentuk suata peradaban.
Dalam peradaban fisik, gaya visual selalu menjadi fenomena yang menarik untuk diamati, hal itu disebabkan oleh factor dinamika dan ekspresi terluar sebuah objek yang mudah dicerna indera mata. Salah satu bentuk gaya visual yang dianggap mendunia adalah modernisme dan modernisme selalu tak bisa dipisahkan dari pengaruh budaya barat.
B.     Desain sebagai Wujud Budaya Visual
Sosok atau wujud desain dianggap sebagai representasi kompleks dari sub-sub social budaya yang mengiringi proses penciptaannya, termasuk di dalamnya antara lain pola piker, ideologi politik, kebijakan pemerintah, system pendidikan visual, wacana estetik yang berkembang, hingga orientasi masyarakat terhadap pandangan dunia.
Hal yang terpenting pada Wujud Budaya Visual adalah:
1.      Mendudukan pergeseran gaya visual dan nilai estetik dalam karya desain sebagai bagian dari proses transformasi budaya nasional secara keseluruhan
2.      Menempatkan desain dalam wacana budaya visual Indonesia secara proporsional
3.      Mengamati peran gaya visual pada karya desain yang telah memperkaya peradaban bangsa diamati sebagai fenomena pemberdayaan masyarakat Indonesia yang bermakna.
Dan dalam konteks budaya visual, istilah desain dapat dipahami sebagai suatu aktivitas dan karya budaya yang teraga dan memiliki makna bagi perkembangan peradaban masyarakatnya. Dengan demikian, desain melingkupi semua hal yang berkaitan dengan budaya benda, nilai-nilai dan substansi filosofis yang melatar belakanginya.
C.     Permasalahan yang Dihadapi Indonesia
Permasalahan nasional ynag dihadapi bangsa Indonesia ke depan dalam spectrum kebudayaan yang luas sesungguhnya ditentukan oleh mentalitas dan sikap manusia bangsa Indonesia sendiri, beberapa di antaranya dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Hilangnya Nasionalisme
Berbagai pengaruh dari budaya luar membuat masyarakat Indonesia lebih tertarik pada bangsa luar dalam hal budaya maupun tatanan kehidupannya. Hal tersebut dapat mengikis sendi-sendi Nasionalisme masyarakat dan mengancam hilangnya rasa Nasionalisme itu sendiri.
2.      Hilangnya Jatidiri Bangsa
Dengan berbagai kemudahan teknologi dan informasi masyarakat menjadi lupa akan menjaga jatidiri bangsa mereka sendiri. Perubahan ketertarikan itu dapat mengakibatkan hilangnya jatidiri bangsa.
3.      Hegemoni Budaya Kuat
Kekuatan yang disebut sebagai hegemoni memiliki pengaruh yang besar dan kuat. Dalam kebudayaan, hegemoni tersebut dapat merubah tatanan budaya setempat dan mempengaruhi dan bisa sampai mengubah kebudayaan yang dipengaruhi oleh hegemoni budaya tersebut.

D.    Redenifisi Budaya Visual
·         Apakah seni itu bukan hanya ekspresi pribadi dibandingkan dengan budaya visual yang merupakan imaji dan ekspresi sosial?
·         Bukanlah budaya visual itu imaji produk masal seperti film atau komik, bagaimanakah  seni dapat dianggap sebagai bagian budaya visual?
·         Apakah karya seni dan desain seperti arsitektur yang sifatnya tidak massal dapat dianggap sebagai bagian budaya visual?
Tokoh pemikir budaya visual seperti Morgan (1998) atau Burke (2001) mungkin lebih jernih dalam menjelaskan fenomena budaya visual sebagai produk refleksi sebuah budaya, dimana di dalamnya terkandung maksud untuk menjelaskan fenomena visual sebagai bagian dari cara berpikir dan berimajinasi secara sosial.
Pemikiran mereka ini mungkin relevan sewaktu kita membahas bagaimana budaya visual tradisi Minangkabau sebagai cerminan dari kepercayaan, mitologi, pengetahuan (intangible cultural heritage) yang dapat dikonstruksikan sebagai imaji–imaji visual sosial tertentu.
Menurut Morgan (1998) jika dalam kajian sejarah yang mapan, pendekatan sejarah seni telah berkonsentrasi untuk menentukan mengapa imaji visual itu timbul. Kemudian ahli sejarah seni juga mencari dan menyelidiki gaya seni, ikonografi (studi tentang ikon), konteks budayaannya, patron-patron ikatan sosial, maksud artistik, dan atensi artistik.
Tetapi pendekatan teori budaya visual menurut Morgan, mengambil payung yang lain lagi, yaitu lebih mempedulikan tujuan (purpose) sosial dan efek imaji yang berlangsung dalam kehidupan dan aturan sosial (sosial order), seperti dalam hal memodifikasinya, menentangnya, atau mentransformasikannya.
Menurut Morgan, dasar pertanyaan untuk kelompok kulturalis visual adalah: bagaimana cara imaji mengambil bagian konstruksi kenyataan sosial? Oleh karena itu sarjana budaya visual manapun akan tertarik dan terdorong keberbagai media-media visual seperti halnya juga berbagai metodologi berusaha untuk menginterpretasikan bentuk yang berbeda tentang bukti visual.


Morgan (1998) menjelaskan bahwa seorang sarjana visual tidak menyelidiki hanya tentang imaji itu sendiri, tetapi juga perannya di dalam narasi, persepsi dan di dalam kategori intelektual dan ilmiah, dan dalam semua cara upacara praktik agama, pemberian hadiah, perdagangan, memorialisasi, migrasi, dan penyajiannya dimana pemahaman tentang imaji sebagai bagian dari kerangka kenyataan sosial. Kenyataan itu dapat direkam oleh seniman fotografi, seni lukis atau wartawan dan menyebar sebagai sebuah kesadaran publik.
Lebih dari itu, studi tentang budaya visual akan melihat imaji itu sebagai bagian dari sebuah sistem produksi budaya dan sistem resepsi (penerimaan budaya), di mana niat asalnya bukanlah untuk memudarkan imaji itu untuk disimpan oleh orang yang bukan membuatnya, misalnya dalam koleksi atau museum.
Imaji diproduksi dan pada gilirannya membantu membangun kenyataan sosial yang membentuk hidup manusia. Studi tentang penelitian budaya visual tidak hanya imaji visual tetapi praktik tentang cara imaji visual itu dipakai. Ini berarti bahwa masyarakat, budayawan, intelektual, dan praktik artistik akan membantu untuk  membuat imaji visual itu menjadi bermakna. Karena itu praktik sejumlah besar sarjana tentang studi budaya visual hari ini bukanlah sebuah disiplin yang otonom atau terfragmentasi, tetapi sebuah interaksi antara dua atau tiga bidang atau disiplin ilmu yang ada.
Sebagai ringkasan, Morgan (1998) menjelaskan beberapa maksud budaya visual:
a)   Budaya visual adalah imaji itu sendiri, budaya visual timbul dari tindakan dan perhatian atas melihat sesuatuatensi intelektualemosional, dan sensibilitas persepsi yang dilaksanakan untuk membangun, memelihara, atau mengubah bentuk dunia itu di mana orang-orang hidup. Studi tentang budaya visual adalah analisis dan penafsiran imaji dalam konteks agen-agen, praktik, konsepsi, dan institusi yang memelihara imaji itu dapat bekerja. Maka, studi budaya visual akan ditandai oleh beberapa atensi (perhatian). Pertama, sarjana budaya visual akan menguji apapun dari semua gambaran-gambaran baik yang tinggi atau rendahnya gambaran itu, apakah itu seni atau tidak seni. Mereka tidak akan membatasi diri mereka ke objek estetik atau artistik atau estetik tertentu saja. Tentu saja, segala hal yang bersifat metafora mungkin saja ditemukan untuk memberikan bukti atas konstruksi kenyataan visual seperti itu, sarjana tidak akan membatasi diri mereka pada ilmu seni, tetapi tidak berkehendak untuk mengabaikannya.
b)   Tujuan budaya visual bukanlah untuk memuji, menghargai, atau mendokumentasikannya. Budaya visual meneliti praktik visual dan bukan untuk mengurangi imaji diri mereka, tetapi menanyakan imaji apa yang berlangsung ketika mereka diterapkan. Sebagai contoh, tidak seorangpun yang dapat menjawab berapa jumlah orang yang telah dipengaruhi oleh imaji tentang Michelangelo atau Leonardo da Vinci.
c)   Budaya visual dapat dipelajari dengan baik tetapi tidak harus memusatkan kepada interpretasi pada kehidupan manusia dengan menguji imaji, praktik, teknologi visual, rasa, atau gaya artistik sebagai tuntutan konstitusi hubungan sosial. Tugasnya hanya adalah untuk memahami bagaimana imaji artefak dan artefak berperan untuk menstukturkan sebuah masyarakat atau dunia budayanya.
d)  Sarjana bisa menerima penghargaan ketika mereka meneliti sebuah visi, sebuah struktur persepsi proses fisiologis, yang memberi tahu tentang sistem penyajian visual. Visi yang dimaksud harusnya ada dalam sebuah operasi sosial dan struktur biologis yang dibangun, dan tergantung pada perancangan tubuhnya. Yaitu bagaimana melibatkan alat penafsir yang dikembangkan oleh sebuah budaya, agar melihat dan memahaminya dengan mudah.
e)   Bukti visual dan harus ada untuk menentukan apa yang mereka dapat ceritakan kepada kita, melihat tindakannya seperti halnya hubungan antara cara berpikir dan penyajian visualnya, perasaannya, aktingnya, dan keyakinannya.


Kesimpulan
            Budaya visual adalah tautan wujud kebudayaan konsep/nilai dan kebudayaan materi/benda yang dapat segera ditangkap oleh indera visual/mata, dan dapat dipahami sebagai model pikiran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kebudayaan visual meliputi berbagai hal mulai dari fenomena budaya visual, desain wujud dari budaya visual, masalah yang timbul serta redefinisi dari budaya visual tersebut. Kebudayaan akan selalu ada dan menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri serta akan menjadi bukti bahwa peradaban manusia akan terus maju mengikuti zaman yang akan datang.








DAFTAR PUSTAKA
·         Sachari,Agus., 2007, Budaya Visual Indonesia [online], (http://books.google.co.id/books?id=PoDl8Fn6GNcC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false, diakses pada 9 April 2015)
·         Couto,Nasbahry., 2011, Memahami Seni sebagai Refleksi Budaya Visual [online], (http://visualheritageblog.blogspot.com/2011/09/memahami-seni-sebagai-refleksi-budaya.html, diakses pada 9 April 2015)

1 komentar:

  1. Segera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan capsa Susun Nomor Satu di Indonesia AGENPOKER(COM)
    Jadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !

    BalasHapus